FILOLOGI JUDEO-ARAB: Polemik Nasab dalam Tradisi Islam dan Kristen
Penulis: Moch Ali
Editor: M. Yaser Arafat
Layout: WM
Desain Cover: Alisha N.
Tahun: Oktober, 2025
Jumlah Halaman & Ukuran: xvi+492 hlm, 15,5 x 23 cm
ISBN:
Wacana nasab dalam studi teks keagamaan kini bukan hanya dipahami sebagai sekedar daftar silsilah, tetapi wacana nasab juga diinterpretasi sebagai ruang imajinasi religi dan dipolitisasi sebagai otoritas kuasa. Dialektika wacana genealogis itu tentu saja meniscayakan munculnya pertarungan narasi pengetahuan dan rebutan ruang kuasa di ranah publik. Pengkajian nasab secara akademik berdasarkan studi filologi Judeo-Arab bahkan kini sangat signifikan untuk membongkar tujuan politisasi konsep nasab, terutama dalam iklim studi teks keagamaan rumpun Semitik. Dalam konteks inilah dunia akademis merupakan medan pertarungan ide yang saling berseberangan. Oleh sebab itu, para pembaca dapat menjadikan karya saya yang berjudul “Filologi Judeo-Arab: Polemik Nasab dalam Tradisi Islam dan Kristen” ini sebagai bagian dari dialektika wacana kekinian dan sekaligus sebagai kritik atas gagasan-gagasan penting para elit agama yang membingkai sakralitas nasab sebagai pembenaran politisasi teologisnya.
Penulisan buku ini tentu saja menggunakan pendekatan episteme tradisionalis dan sekaligus menggunakan pendekatan episteme revisionis. Namun, episteme kesarjanaan revisionis itu memang berseberangan dengan episteme kesarjanaan tradisionalis yang tentu saja sumber data, metodologi dan penalarannya sangat berbeda. Pendekatan kesarjanaan revisionis tidak menjadikan sumber-sumber tradisional Islam itu sebagai sumber primer karena tidak dianggap signifikan dan sangat problematik bahkan dianggap tidak reliabel dan tidak memenuhi syarat sebagai sumber sejarah yang otoritatif. Para sarjana revisionis menganggap sumber-sumber tradisional Islam itu tidak valid dan mengandung banyak kontroversinya dan bahkan teksnya ditulis pada era belakangan, sehingga sumber-sumber tradisional Islam itu tidak bisa diterima secara ilmiah tanpa melalui proses verifikasi. Dalam konteks kajian data berdasarkan pendekatan episteme kolaboratif inilah buku ini hadir di hadapan pembaca. Kehadiran buku ini tentu saja saya tujukan kepada para sarjana tradisionalis dan sarjana revisionis agar kedua kubu dapat ‘duduk bersama satu meja’ untuk memperbincangkan ulang sumber-sumber Islam dan pra-Islam dalam konteks kajian kritik historis, dan hal ini tentu saja bisa mengurangi benturan narasi di ruang publik.